Manusia
adalah persoalan yang tidak habis-habisnya untuk didiskusikan. Persoalan
filsafat yang paling mendasar saat ini adalah persoalan tentang manusia itu
sendiri. Siapa manusia? Kapan dan mengapa dia ada? Bagaimana seharusnya manusia
yang sempurna? Semua pertanyaan itu terus menjadi persoalan manusia yang dikaji
dalam berbagai perspektif psikologis, sosiologis, biologis, dan kajian-kajian
lainnya.
Dalam berbagai aliran psikologi,
seperti psikoanalisa (klasik) Sigmund Freud, memandang perilaku manusia banyak
dipengaruhi masa lalu, alam tak sadar, dorongan-dorongan biologis yang selalu
menuntut kenikmatan untuk segera dipenuhi. Dengan demikian tak heran bila
psikonalisa menganggap hakikat manusia adalah buruk, liar, kejam, kelam, non
etis, egois, sarat nafsu, dan berkiblat pada kenikmatan jasmani. Sementara
aliran behavioral atau perilaku menganggap manusia pada hakikatnya adalah
netral, baik-buruknya perilaku terpengaruh dari pengaruh situasi dan perlakuan
yang dialami. Lain halnya dengan aliran humanistik yang memiliki asumsi bahwa
manusia pada dasarnya memiliki potensi-potensi yang baik, minimal lebih banyak
baiknya dari pada buruknya dan karena itu aliran ini memandang menusia sebagai
makhluk yang memiliki otoritas atas kehidupannya sendiri.
Banyak hal yang membedakan antara
konsepsi Islam dengan semua teori-teori psikologi. Islam dalam memandang
manusia tidak bersifat deterministik, sebagaimana aliran psikoanalisa, juga
tidak semata-mata membentuk kepribadian melalui lingkungan (behavioral), juga
tidak memberikan kebebasan sepenuhnya kepada manusia untuk mengikuti seluruh
keinginan pribadinya (humanistic). Akan tetapi Islam memberikan kemuliaan
kepada manusia sebagai makhluk yang paling mulia, yaitu pengganti kedudukan
Tuhan di muka bumi. Manusia juga memiliki bentuk yang terbaik dari seluruh
makhluknya dan mempunyai kekuatan untuk merubah sendiri kondisi dirinya.
Berikut ini adalah beberapa ayat yang menjelaskan tentang ini.
1. Manusia Sebagai Khalifah.
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ
إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً
"Ingatlah ketika Tuhanmu
berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan
seorang khalifah di muka bumi". (al-Baqarah: 30)
Manusia sebagai khalifah Allah fil
ardhi menjadi wakil Tuhan di muka bumi, yang memegang mandat Tuhan untuk
mewujudkan kemakmuran di muka bumi. Kekuasaan yang diberikan kepada manusia
bersifat kreatif, yang memungkinkan manusia mengelola serta mendayagunakan apa
yang ada di bumi, untuk kepentingan hidupnya. Dengan demikian hal ini berarti
ia diberi kepercayaan untuk mengelola bumi dan karenanya mesti mengetahui
seluk-beluk bumi, atau paling tidak punya potensi untuk mengetahuinya.
Kedudukan manusia sebagai khalifah
atau pengganti Allah di muka bumi dikritisi oleh malaikat karena mereka –
manusia – mempunyai potensi untuk membuat kerusakan di muka bumi. Akan tetapi
Allah menegaskan bahwa malaikat belum mengetahui tentang manusia, lalu manusia
menunujukkan kemampuannya untuk menyebutkan nama-nama. Dengan kemampuan ini,
yang berarti juga kemampuan untuk berinisiatif, dengan demikian manusia tidak
hanya berpotensi merusak akan tetapi juga memiliki potensi untuk berbuat
kebaikan
Kisah penciptaan manusia dalam
bentuk serah terima "kekhalifahan di atas bumi", kepada manusia,
menurut Fazlur Rahman diwarnai dengan protes para malaikat dan berkata:
"Apakah engkau hendak menempatkan seseorang yang akan berbuat aniaya di
atas bumi dan yang akan menumpahkan darah, sedang kami selalu memuji Kebesaran
dan Kesucian-Mu? Allah tidak menyangkal tuduhan mereka terhadap manusia itu
tetapi Dia menjawab:' Aku mengetahui hal-hal yang tidak kalian ketahui".
Kemudian Allah membuat kompetisi di antara para malaikat dengan Adam: siapakah
di antara mereka yang lebih luas pengetahuannya. Dan kompetisi ini dimenangkan
oleh manusia yang mampu menyebutkan nama-nama sementara malaikat tidak sanggup
untuk melakukan hal tersebut. Keterangan ini menunjukkan bahwa manusia (Adam)
dapat memiliki pengetahuan yang kreatif. Setelah itu, kemudian Allah menyuruh
malaikat tersebut untuk bersujud kepada manusia (Adam).
Kedudukan manusia sebagai khalifah
Allah merupakan tanggungjawab moral manusia kepada Allah yang harus menjadi
tantangan bagi manusia untuk mewujudkan perannya untuk menjadi penguasa di muka
bumi dengan membawa misi Ilahi. Allah memberikan keistimewaan kepada manusia
yang tidak diberikan kepada makhluk lainnya yaitu akal pikiran, dan kebebasan
untuk berkehendak. Semua penjelasan di atas, menjadi model kepercayaan diri
bahwa ia merupakan makhluk yang paling istimewa dari seluruh makhluk lainnya
dan akan mewujudkan tata sosial yang bermoral di atas dunia sesuai dengan
tujuannya di dunia yaitu ibadah.
2.Manusia Sebagai Makhluk Terbaik.
لَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ فِي
أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ
"Sesungguhnya Kami telah
menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. (at-Tin: 4)
Ibnu Katsir menjelaskan bahwa Allah
menciptakan manusia dalam bentuk makhluk yang paling sempurna dari segi bentuk
dan rupanya. setiap manusia yang dilahirkan di bumi adalah makhluk terbaik di
antara ratusan juta pesaing lainnya yang akan lahir ke muka bumi.
Setiap orang yang lahir ke muka bumi
akan berjuang berlomba-lomba menghadapi ratusan juta pesaing lainnya untuk
sampai ke tempat tujuan (ke tuba faloppi atau oviduk) untuk dapat mencapai
induk telur. Dengan tak kenal lelah mereka berenang beberapa milimeter untuk
melewati perjalanan yang penuh dengan mortalitas yang tinggi. Dalam perjalanan
sperma menuju indung telur ini hanya beberapa ribu yang dapat menyelesaikan
perjalanan dan dari ribuan ini hanya satu sperma yang akan berhasil memasuki
telur dan membuahinya. jika manusia menyadari kejadian ini dengan memperhatikan
dan mengambil ibroh dibalik kejadian tersebut, sudah seharusnya setiap individu
merasa bangga akan dirinya dan memiliki kepercayaan diri karena merupakan
makhluk terbaik dan terpilih di antara ratusan juta lainnya untuk menjalankan
amanah sebagai khalifah Allah.
Ayat berikut yang memerintahkan
manusia untuk memperhatikan proses penciptaan dengan menunjukkan tentang proses
penciptaan manusia:
فَلْيَنْظُرِ الْإِنْسَانُ مِمَّ
خُلِقَ(5)خُلِقَ مِنْ مَاءٍ دَافِقٍ(6)يَخْرُجُ مِنْ بَيْنِ الصُّلْبِ
وَالتَّرَائِبِ
Maka hendaklah manusia memperhatikan
dari apakah dia diciptakan? Dia diciptakan dari air yang terpancar, yang keluar
dari antara tulang sulbi dan tulang dada.(at-Thariq: 5-7)
Dalam menafsirkan ayat ini, Muhammad
Abduh menafsirkan bahwa ia merupakan bukti kebenaran dalam ayat sebelumnya yang
menyatakan bahwa manusia senantiasa dijaga dan diperhatikan oleh Allah. Hal ini
mengingat bahwa "air yang memancar" adalah salah satu benda cair yang
tidak ada terlukis atau terbentuk di dalamnya pelbagai peralatan yang
mengandung fungsi kehidupan, seeperti yang aa dalam berbagai anggota tubuh.
Namun, "cairan ini" ternyata dapat tumbuh menjadi suatu makhluk yang
sempurna, yaitu manusia yang penuh dengan kehidupan, akal dan persepsi, serta
memiliki potensi untuk melaksanakan kekhalifahan di muka bumi. Pembentukan dan
penentuan kadar masing-masing komponen yang ada padanya, serta penciptaaan
pelbagai anggota tubuh yang di dalamnya ditanamkan potensi tertentu, sehingga
dengan itu ia mampu melaksanakan fungsinya, kemudian ditambah lagi dengan akal
serta daya persepsi: semua itu tidak mungkin dibiarkan tanpa ada
"penjaga" yang mengawasi serta mengaturnya yaitu Allah.
Atau ayat ini dapat bermakna sebagai
penegas ayat sebelumnya: "apabila telah engkau ketahui bahwa setiap jiwa
pasti ada pengawasnya maka wajib atas setiap manusia untuk tidak menelantarkan
dirinya sendiri." Wajiblah ia berpikir tentang kejadian dirinya serta
bagaimana awal mula kejadiannya. Agar ia dapat menyimpulkan bahwa Allah yang
kuasa menciptakannya sejak pertama kali, pasti kuasa pula untuk
membangkitkannya lagi kelak. Kesadaran seperti itu akan mendorong dirinya untuk
melakukan amal-amal saleh dan berperilaku sebaik-baiknya, serta menjauhkan diri
dari pelbagai jalan kejahatan. Sebab mata Sang Pengawas tak lengah sedikitpun.
Kesadaran seperti inilah yang harus dimiliki oleh setiap individu untuk
mengetahui hakikat dirinya agar mampu melakukan tindakan sesuai apa yang
diperintahkan oleh sang penciptanya.
3. Manusia Sebagai Makhluk Perubah
إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا
بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ
"Sesungguhnya Allah tidak
mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada
diri mereka sendiri. (ar-Ra'du:11)
Dalam Tafsir Jalalain dijelaskan
bahwa Allah tidak akan merampas nikmatnya dari manusia meskipun ia melakukan
maksiat. Ini dapat terjadi pada realitas empirik orang-orang yang tidak beriman
kepada Allah sukses dalam keduniawian. Sementara al-Qurtubi menjelaskan bahwa
dalam ayat ini Allah tidak akan merubah suatu kaum kecuali terdapat perubahan
dalam diri mereka, atau orang lain yang mengamati mereka, atau sebagian dari
kaum mereka. Ayat ini tidak bermakna bahwa orang yang tidak melakukan dosa
tidak akan mendapatkan musibah atau azab karena tidak pernah melakukan dosa.
Sebagaimana Rasulullah bersabda: ketika ditanya apakah orang-orang yang saleh
itu akan dimusnahkan? Jawabnya: benar, apabila banyak terjadi kerusakan dalam
masyarakatnya semua ini menunjukkan bahwa manusia memiliki potensi untuk
berubah menuju kebaikan atau keburukan. Dominasi manusia yang memiliki nilai
negatif terhadap orang-orang saleh yang tidak mampu berbuat apa-apa akan
berakibat semuanya terkena musibah atau bencana yang melanda kaum tersebut.
Berikut ini akan penulis paparkan
dan jelaskan dari Khutbah Idul Fitri Amin Rais, yang berjudul: Membangun Rasa
Percaya Diri. Menurut Amin saat ini bangsa Indonesia mengalami keterpurukan di
berbagai bidang kehidupan. Untuk keluar dari keterpurukan itu, umat Islam
sebagai bagian dari bangsa masih harus mengasah dan mempertajam ketakwaan kita
kepada Allah. Pada gilirannya bila ketakwaan semakin mantap maka insya Allah
semakin besar pula kepercayaan diri, self confidence, atau at-tsiqah 'ala
an-nafs bangsa Indonesia.
Sebagai bangsa yang besar sekarang
bangsa Indonesia berada dalam suasana tidak percaya diri, malahan kadang-kadang
seperti mengalami kebingungan. Berikut ini merupakan bukti-bukti ketidak
percayaan diri yang di jelaskannya:
Lihatlah bagaimana kita merasa sudah
tidak mampu lagi memperbaiki ekonomi kita dengan akal, energi, daya dan
kreativitas kita sendiri. Sebagai gantinya, kita serahkan sepenuhnya nasib
ekonomi kita kepada sebuah badan dana moneter internasional. Padahal badan
internasional tersebut ternyata tidak becus memperbaiki ekonomi Indonesia.
Lihatlah bagaimana mula-mula
didirikan sebuah badan utuk menyehatkan perbankan dan berbagai BUMN kita. Namun
dalam perkembangannya badan itu kini menjadi juru lelang aset-aset nasional.
Mengapa? Karena kita tidak yakin dapat memperbaiki berbagai BUMN itu dengan
kemampuan dan akal sehat kita. Sikap yang diambil kemudian adalah jual saja
berbagai BUMN itu, habis perkara. Memang perkaranya habis karena kita kemudian
menjadi bangsa pelayan yang melayani kepentingan luar negeri.
Lihatlah bagaimana kita bahkan tidak
berani mengangkat kepala kita melihat pencurian tanah dan pasir Indonesia yang
sudah berlangsung hampir dua dasawarsa. Beberapa pulau di sekitar Kepulauan
Riau sudah lenyap karena sudah berpindah dan ditempelkan ke suatu negara
tetangga lewat proses reklamasi. Nampaknya kita tidak berani hanya sekedar
menegur, bahkan menyindir negara tetangga tersebut agar menghentikan penjarahan
tanah, pasir dan air kita. Masya Allah.
Lihatlah juga bagaimana kita
memperlakukan kekayaan alam kita yang dianugerahkan Allah kepada kita bangsa
Indonesia. Betapa banyak kontrak karya dibidang perminyakan, gas alam, emas,
perak, tembaga dan berbagai kekayaan miniral kita, yang amat sangat
menguntungkan pihak luar negeri dan cukup merugikan, bahkan menyengsarakan
bangsa sendiri. Mengapa? Karena kita beralasan tidak punya modal, tidak punya
kemampuan manajerial, tidak punya apa-apa untuk mengelola karunia dan anugerah
kekayaan alam itu dengan tangan kita sendiri.
Oleh sebab itu setiap individu, para
pemimpin dan rakyat seluruhnya, harus berusaha memulihkan kembali rasa percaya
diri yang kini sudah hilang. Perlunya upaya untuk menemukan kembali dan
memperkokoh rasa percaya diri bangsa Indonesia. Bangsa manapun, tidak mungkin
mengandalkan pemulihan kehidupan ekonomi, sosial, politik, hukum, pendidikan
dan lain-lain semata-mata pada kekuatan luar negeri. Mustahil ada satu bangsa
yang mau bersusah payah dan berkorban untuk bangsa lain.
Karena itulah perlu ditekankan
kembali firman Allah dalam surat ar-Ra'du ayat 11: "... Allah tidak akan
merubah nasib suatu kaum, kecuali kaum itu sendiri yang merubah nasibnya".
Juga firman Allah dalam surat al-Anfal ayat 53: " ... Demikianlah Allah
sekali-kali tidak akan merubah kenikmatan yang telah dikaruniakan pada suatu
bangsa, kecuali bangsa itu sendiri yang merubahnya..."
Proses perubahan sebagaimana yang
dijelaskan di atas tidak akan terwujud jika manusia itu sendiri tidak mau
merubahnya. Memang tantangan yang sedang dihadapi sangatlah berat ibarat
berjalan di bukit yang mendaki dan sangat terjal. Pepatah asing mengatakan,
when the going gets tough, the toughs gets going. Artinya bila perjalanan makin
sulit yang sulit itu pun akan terus bergerak.
Kutipan dari khutbah Amin Rais pada
Idul Fitri di atas, penting kiranya dan perlu dicermati agar semua pihak dapat
menyadari bahwa memiliki keyakinan diri untuk dapat merubah kondisi bangsa ini
sendiri adalah suatu kewajiban bagi seluruh bangsa Indonesia. Perubahan dari
tidak percaya diri menuju percaya diri harus dimulai dengan mengetahui
bagaimana konsepsi diri manusia tersebut yang sesungguhnya.
Rif'at Syauqi Nawawi menjelaskan
tentang gambaran al-Qur'an yang positif tentang manusia:
Manusia adalah khalifah Tuhan di
muka bumi. Dibandingkan dengan makhluk yang lain, manusia mempunyai kapasitas
intelegensia yang paling tinggi. Manusia mempunyai kecenderungan dekat dengan
Tuhan. Manusia, dalam fitrahnya, memiliki sekumpulan unsur surgawi nan luhur,
yang berbeda dengan unsur-unsur badani yang ada pada hewan, tumbuh-tumbuhan dan
benda-benda yang tak bernyawa. Unsur-unsur itu merupakan suatu senyawa antara
alam nyata dan metafisis, antara rasa dan non rasa (materi), antara jiwa dan
raga. Penciptaan manusia benar-benar telah diperhitungkan secara teliti, bukan
secara kebetulan. Karenanya, manusia merupakan makhluk pilihan. Manusia
bersifat bebas dan merdeka. Mereka diberi kepercayaan oleh Tuhan, diberkahi
dengan risalah yang diturunkan melalui nabi, dan dikaruniai rasa tanggung
jawab. Mereka diperintahkan untuk mencari nafkah di muka bumi dengan inisiatif
dan jerih payah mereka sendiri, mereka pun bebas memilih kesejahteraan atau
kesengsaraan bagi dirinya. Manusia dikaruniai pembawaan yang mulia dan
martabat. Tuhan, pada kenyataannya telah menganugerahi manusia dengan
keunggulan atas makhluk-makhluk lain. Manusia akan menghargai dirinya sendiri
hanya jika mereka mampu merasakan kemuliaan dan martabat itu, serta mau
melepaskan diri mereka dari kepicikan segala kerendahan budi, penghambaan dan
hawa nafsu. Manusia memiliki kesadaran moral. Mereka dapat membedakan yang baik
dari yang jahat melalui inspirasi fitri yang ada pada mereka. Jiwa manusia
tidak akan pernah damai, kecuali dengan mengingat Allah. Keinginan mereka tidak
terbatas, mereka tidak pernah puas dengan apa yang telah mereka peroleh. Di
lain pihak, mereka lebih berhasrat untuk ditinggikan ke arah perhubungan dengan
Tuhan Yang Maha Abadi. Segala bentuk karunia duniawi diciptakan untuk
kepentingan manusia. Jadi, manusia berhak memanfaatkan itu semua dengan cara
yang sah. Manusia diciptakan Tuhan agar menyembah-Nya, tunduk patuh kepada-Nya,
dan merupakan tanggung jawab yang utama bagi mereka. Manusia tidak semata-mata
tersentuh oleh motivasi-motivasi duniawi saja. Dengan kata lain, kebutuhan
inderawi bukanlah satu-satunya stimulus baginya. Lebih dari itu, mereka selalu
berupaya untuk meraih cita-cita dan aspirasi-aspirasi yang lebih adiluhung
dalam kehidupan mereka. Dalam banyak hal, manusia tidak mengejar satu tujuan
pun kecuali mengharap keridhaan Allah Swt.
Adanya berbagai penjelasan tentang
segi-segi positif manusia yang terungkap dalam al-Qur'an bukan berarti tidak
terdapat ayat-ayat yang berbicara tentang sisi negatif manusia, akan tetapi
ayat-ayat yang berbicara tentang sisi negatif manusia tersebut harus dipahami
bahwa semua itu menunjukkan beberapa kelemahan manusia yang harus di
hindarinya. Ayat-ayat tersebut tidak akan dijelaskan dalam penelitian ini.
Karena penelitian ini akan memfokuskan pada sisi positif manusia agar dapat
berpikir positif tentang dirinya dan menjadi pribadi yang percaya diri
|
Senin, 14 Maret 2016
ALQUR AN
Label:
Renungan
Langganan:
Posting Komentar (Atom)





0 komentar:
Posting Komentar